Kebenaran yang Tak Terelakkan: Menavigasi Hilangnya Kepercayaan Sinterklas pada Anak

0
6

Saatnya tiba bagi sebagian besar orang tua pada akhirnya: pertanyaan. Dalam kasus saya, hal itu datang dari putri saya yang berusia 9 tahun, dipicu oleh pengakuan blak-blakan dari teman sekelas saya. Setelah bertahun-tahun percaya, dia menoleh kepada kami, menanyakan pertanyaan yang kami sepakati akan ditanggapi dengan jujur. Tidak ada penundaan, tidak ada penghindaran—sebuah prinsip yang telah kami tetapkan sejak lama.

Tapi mengatakan yang sebenarnya padanya tetap saja menyakitkan. Kepolosan di matanya berubah ketika dia mengetahui bahwa “Santa” adalah kami. Meskipun kami berusaha meringankan pukulan tersebut dengan membingkainya sebagai kelanjutan dari semangat memberi, reaksi langsungnya jelas: kesedihan.

Tahapan Kerugian

Selama beberapa jam berikutnya, putri saya melewati tahap-tahap yang sangat mirip dengan tahap-tahap yang dialaminya ketika mengalami kehilangan yang signifikan. Mula-mula muncul kesedihan, lalu kemarahan, diikuti tawar-menawar yang putus asa. Dia bahkan menyarankan Santa akan kembali jika kita berhenti meninggalkan hadiah, sebuah upaya logis yang memilukan untuk melestarikan keajaiban. Ini bukan hanya tentang seorang pria berjas merah; ini tentang hilangnya keyakinan yang sangat dijunjung tinggi.

Pengalaman Universal

Untuk mencari dukungan, saya beralih ke ibu-ibu lain. Konsensusnya sangat jelas: menyampaikan berita ini adalah tindakan yang brutal. Banyak yang telah melaluinya, dan semuanya sepakat akan rasa sakitnya. Beberapa orang menghindari narasi Santa sama sekali, sementara yang lain bertekad untuk mempertahankan ilusi tersebut selama mungkin. Kenyataannya adalah tidak ada naskah; hanya orang tua yang menjalani transisi yang sulit.

Wawasan Pakar

Jennifer Kelman, seorang pekerja sosial klinis berlisensi, menegaskan bahwa reaksi duka ini sepenuhnya normal. Hilangnya Sinterklas mewakili lebih dari sekedar mitos; ini merupakan langkah menuju kedewasaan dan pengakuan terhadap cara kerja dunia.

Cara Menangani Percakapan

Kuncinya, tegas Kelman, adalah kejujuran yang dibarengi dengan kelembutan. Ketika seorang anak bertanya, inilah saatnya untuk melakukan percakapan. Berikut cara mendekatinya:

  • Bersikaplah jujur namun penuh empati: Berikan anak Anda hak pilihan dengan menanyakan apakah mereka ingin mengetahui kebenaran.
  • Membingkai ulang Santa sebagai simbol cinta: Jelaskan bahwa Santa adalah bagian dari tradisi yang dibangun berdasarkan imajinasi dan koneksi, bukan penipuan.
  • Validasi perasaan mereka: Jangan terburu-buru melewati kesedihan. Biarkan mereka mengalami kesedihan, kebingungan, atau kemarahan tanpa meminimalkan rasa sakit mereka.
  • Akui emosi Anda sendiri: Ini juga merupakan kehilangan bagi Anda—pengingat akan pertumbuhan anak Anda.
  • Undang mereka ke dalam keajaiban: Setelah mereka siap, mereka dapat menjadi bagian dari tradisi, membantu menciptakan kegembiraan bagi orang lain.
  • Memperkuat kepercayaan: Menangani percakapan ini dengan kejujuran akan memperkuat ikatan antara orang tua dan anak.

Keesokan harinya, putri saya, dengan masih menangis, mengaku masih menyukai Natal. Saya mengingatkan dia bahwa liburan ini bukan tentang Santa, namun tentang keluarga, tradisi, dan cinta—elemen yang bertahan lama.

Pengalaman ini telah membentuk ulang Natal bagi keluarga kami, namun pada akhirnya, hal ini memperkuat nilai inti: kejujuran. Keajaiban mungkin berkembang, tetapi cinta tetap ada.